Senin, 29 November 2010

The Best


Bes ebes ebes! Semuanya serba the best, never settle for less, always do the best, until better get the best. Itulah ciri utama orang-orang sukses yang paling hebat, menurut kawan saya yang X-O-P (extra-ordinary-person). Orang sukses amat sangat yakin bahwa mereka adalah yang terbaik dalam bidang yang mereka kerjakan; baik dalam arti potensial (akan menjadi) maupun aktual (sudah jadi). Ini sesuatu yang tidak bisa ditawar. Lihat saja Hermawan Kartajaya sang pakar pemasaran Indonesia yang berkiprah di kancah dunia, Ary Ginanjar Agustian sang pakar ESQ yang merambah pasar ASEAN, Andrie Wongso sang Motivator Nomor 1 Indonesia, Jansen Sinamo yang menabalkan eksistensinya sebagai Guru Etos Indonesia, dan sebagainya. Semuanya yakin bahwa mereka yang terbaik di bidangnya. Kalau ada yang kurang setuju boleh saja. Tapi perasaan itu subjektif, tak bisa didikte dan diatur pihak lain. Setuju atau tidak setuju silahkan saja, toh tak ada pengaruhnya sama sekali.

 
Jadi, best yang pertama adalah Feel I am the best. Orang yang mau sukses harus bisa merasa bahwa dirinya adalah yang terbaik. Sikap gede rasa ini perlu dan bahkan amat vital. Namun tentu saja orang sukses tidak cuma mengandalkan perasaan sebagai yang terbaik. Jika sukses itu ibarat sebuah rumah megah, maka feel I am the best ini adalah atapnya yang menjulang ke langit. Dan namanya rumah, tidak hanya perlu atas yang indah saja, tetapi juga tiang-tiang penopang yang kokoh, bukan?

Rumah yang megah, memerlukan sejumlah tiang penopang. Demikian juga orang-orang sukses yang membangun perasaan yakin dirinya yang terbaik, menopang perasaan yang sujektif itu dengan sedikitnya empat tiang utama.

Tiang rumah yang pertama: prepare for the best. Ini menyangkut soal standar diri. Orang sukses menetapkan standar yang tinggi, mengharapkan yang terbaik. Ia tidak suka persiapan seadanya. Ia sering menolak melakukan tugas tanpa persiapan sama sekali. Baginya persiapan itu merupakan bagian tak terhindarkan dari kesuksesan itu sendiri. Siapa yang suka meremehkan persiapan akan gagal total. Itulah sikap orang sukses, mempersiapkan yang terbaik.

Tiang rumah yang kedua: do the best. Persiapan yang baik memungkinkan orang melakukan benar-benar yang terbaik. Ia tidak kekurangan ini dan itu; tidak lupa ini dan lupa itu; sebab memang sudah melakukan persiapan. Dengan demikian, ketika berhadapan dengan berbagai situasi sulit dan menantang di panggung-panggung kehidupan, ia tampil maksimal. Hal-hal yang terbaik dari dirinya, termasuk kearifan yang muncul dari pergulatan menaklukkan kesulitan dan tantangan hidup di masa silam, tampil prima dan berseri di panggung kehidupan yang nyata; bukan yang maya; bukan yang rekayasa pencitraan semata.

Tidak berhenti sampai di pelaksanaan, orang-orang sukses juga mengharapkan hal-hal terbaik datang memasuki kehidupannya. Inilah tiang penopang rumah yang ketiga: expect the best. Persiapan yang baik dan totalitas dalam melakukan tugas dan pekerjaan menimbulkan harapan bahwa mereka benar-benar berhak—earned the right—memperoleh yang terbaik. Orang sukses tidak suka memikirkan hasil yang “lumayan” atau “sedang-sedang saja”. Harapkan yang terbaik; harapkan yang terbaik; harapkan yang terbaik. Bukankah maling, copet, dan perampok saja mengharapkan hasil-hasil terbaik dari siasat dan strateginya? Lalu mengapa banyak orang yang melakukan pekerjaan halal dan terpuji mau cepat puas dengan hasil yang alakadarnya? Begitu kita-kira pikiran orang sukses.

Bahwa dalam kenyataannya apa yang mereka kerjakan tidak memberikan hasil seperti yang mereka inginkan, itu juga realitas hidup orang sukses. Dan menghadapi situasi-situasi yang tidak sesuai dengan keinginannya itu, mereka menyesuaikan diri, melakukan refleksi dan beradaptasi. Kegagalan-kegagalan mendorong mereka melakukan pencarian lebih lanjut, mencari guru-guru yang tepat. Inilah tiang penopang rumah yang keempat: learn from the best. Ya. Belajar dari yang terbaik.

Tentang hal yang terakhir ini seorang kawan yang cerdas menyindir dengan santun. Katanya, “belajar dari yang terbaik” itu cocok untuk pemula. Bagi orang yang sudah mahir dan bijak, belajar itu bisa “dari siapa saja”. Bahkan orang-orang yang paling hebat pun bisa belajar dari orang-orang yang gagal total. Maksudnya, menjadi jelas bahwa selalu ada cara lain di luar cara sukses, yaitu cara pasti meraih kegagalan.

Mau sukses? Feel I am the best; prepare for the best; do the best; expect for the best; and learn from the best. Bes ebes ebes, eh kok malah sukses. Mantaplah!


Terusla semangattt ya temen2 ku.....
jadikan diri kalian yg terbaik dari yg baik.....^_^

Pelajaran Bersyukur



Pelajaran bersyukur adalah pelajaran pertama yang saya anggap penting dalam setumpuk mata pelajaran di sekolah kehidupan Indonesia. Dalam “mata pelajaran” yang satu ini, guru saya yang pertama dan terutama adalah almarhumah ibu saya sendiri. Ia mengajarkan kepada saya agar mendisiplin diri untuk belajar bersyukur dalam segala situasi, baik di kala suka maupun di kala duka.

Bersyukur di kala suka, yakni saat hidup berjalan sebagaimana saya harapkan, tidaklah sulit. Saya dengan mudah mengucapkan syukur atas segala macam hadiah yang saya peroleh, prestasi yang saya raih, penghargaan yang saya terima, dan berbagai rejeki serta kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Dan setiap kali saya mengingat-ingat kemurahan Tuhan, saya dengan mudah dapat mengucapkan syukur dalam hidup saya.

Namun, bersyukur di kala duka acap kali tidak mudah saya lakukan. Bagaimana saya harus bersyukur ketika hidup berjalan tidak seperti yang saya inginkan? Ketika saya kecewa karena tidak mendapatkan apa yang saya harapkan, atau ketika beban kehidupan terasa berat karena harus menunaikan sejumlah kewajiban dalam keluarga atau dalam pekerjaan, maka mengucap syukur menjadi soal yang tidak mudah. Apalagi ketika saya berulang kali harus menerima kenyataan sejumlah usaha yang saya rintis untuk meningkatkan tarap hidup, justru berakhir dengan kegagalan dan kebangkrutan. Bukan hanya tidak memberikan hasil seperti yang saya harapkan, saya terkadang harus menanggung beban hutang yang harus dicicil selama beberapa tahun. Hal-hal semacam itu membuat saya kecewa, frustasi, sedih, dan hampir putus asa. Biasanya pada saat-saat semacam itu, gelombang kekhawatiran mengenai masa depan muncul silih berganti. Masa depan nampak sebagai sesuatu yang menyeramkan, dan semangat hidup turun pada tingkat terendah.

Saya kemudian menyimpulkan bahwa bersyukur di kala suka itu mudah, tetapi bersyukur di kala duka memerlukan latihan dan disiplin. Bersyukur atas berkat yang Tuhan limpahkan itu gampang, tetapi bersyukur atas penderitaan yang Tuhan ijinkan menimpa hidup saya, jelas tidak mudah. Dan karena yang terakhir ini tidak mudah, saya perlu mempelajarinya dengan lebih seksama.

”Sekurang-kurangnya ada dua pilihan yang bisa kamu ambil ketika hidupmu sedang dilanda kesusahan. Pertama, kamu bisa mengeluh atau bahkan mengutuk hidup sendiri; Kedua, kamu bisa tetap bersyukur karena kamu yakin bahwa tidak ada kesusahan yang di ijinkanTuhan melampaui kekuatan yang telah diberikannya kepada kamu. Bahkan acapkali kesusahan yang di ijinkan Tuhan itu sesungguhnya merupakan sebuah proses persiapan untuk kamu menikmati suka cita yang lebih besar dari yang pernah kamu alami sebelumnya,” kata Ibu saya. Dan dalam praktik hidup yang nyata, Ibu saya selalu memilih yang kedua. Sepanjang hidupnya saya tidak pernah mendengar Ibu saya berkeluh kesah. Ia selalu bersyukur. Selalu. Ini membuat saya kagum dan menghormati ajarannya.

Bagi Ibu saya, bersyukur adalah soal pilihan pikiran dan hati. Kita bebas menentukan pilihan, namun kita terikat pada dampak yang ditimbulkan oleh setiap pilihan. Entah sadar atau tidak, bagi Ibu saya jelas bahwa mengeluh dan mengutuki kegagalan dan kesusahan hidup tidak pernah membuat hidup menjadi lebih baik. Keluhan bahkan membuat kita makin kehilangan semangat hidup dan terperosok lebih dalam kejurang keputusasaan. Sebaliknya, dengan tetap mengucap syukur kita kemudian ditolong untuk menemukan kembali kegairahan hidup, mendapatkan semacam kekuatan untuk menghadapi kenyataan sepahit apapun. Bersyukur membuat mata pikiran [eye of mind] dan mata batin [eye of spirit] kita terbuka lebih lebar, sehingga dapat melihat berbagai kemurahan tuhan yang nyata-nyata telah [bukan] akan Ia berikan dalam hidup kita. Atas kemurahan Tuhanlah kita masih hidup, masih bisa bernafas, masih bisa makan dan minum, masih memiliki pakaian, tempat tinggal, di beri kesehatan, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, bersyukur menolong kita untuk tetap menjaga perspektif hidup secara keseluruhan, tidak terjebak hanya melihat sisi gelap kehidupan kita saat menderita.

Bagaimana caranya agar kita tetap mampu bersyukur dalam segala situasi, terutama ketika situasi kita tidak menyenangkan? Bagi Ibu saya caranya amatlah sederhana. Ia mempraktikkan syair lagu berikut:

Bila hidupmu dilanda topan b’rat
Engkau putus asa hatimu penat
Berkatmu kau hitung satu persatu
K’lak kau tercengang melihat jumlahnya

Itulah caranya. Dan itulah yang saya coba praktikkan selama berpuluh tahun. Bila kesusahan hidup mendera, saya mengambil selembar kertas dan memaksa pikiran saya untuk menemukan sejumlah hal yang pantas saya syukuri dalam hidup. Saya mendaftarkan sejumlah prestasi dan penghargaan yang pernah saya raih; menambahkan sejumlah hal yang berhasil saya miliki; menuliskan semua tempat rekreasi dan kota-kota yang pernah saya kunjungi; mencatat satu per satu anggota tubuh saya yang sehat; buku-buku yang sempat saya baca; nama-nama orang yang pernah menolong saya atau yang pernah saya tolong; bahkan juga kesusahan-kesusahan yang pernah saya lalui; dan seterusnya. Dan sejauh ini harus saya akui, saya akhirnya sering tercengang melihat jumlahnya. Biasanya saya berhenti ketika daftar syukur saya mencapai angka seratus. Bila saya lanjutkan, maka jumlahnya pasti bisa ditambah sepuluh atau dua puluh kali lipat, atau bahkan lebih. Lalu saya merenung dan bertanya pada diri saya sendiri: tidak cukup banyakkah berkat Tuhan yang telah nyata-nyata saya terima dan saya alami dalam hidup saya? Lalu adilkah saya bila karena sebuah penderitaan saja, semua berkat Tuhan itu saya anggap tidak bernilai? Bukankah pada kenyataannya saya telah menerima begitu banyak berkat yang melampaui apa yang sesungguhnya saya butuhkan untuk hidup?

Lambat laun, setelah latihan bersyukur dalam segala situasi selama puluhan tahun, saya kemudian menyadari ada perbedaan antara orang yang bisa bersyukur dengan orang yang mahir bersyukur. Sama seperti orang yang bisa berenang harus dibedakan dengan mereka yang mahir berenang, orang yang bisa naik sepeda harus dibedakan dengan pembalap sepeda, dan seterusnya. Bisa belum tentu mahir, tetapi mahir pasti bisa.

Orang yang bisa bersyukur adalah mereka yang bersyukur ketika hidupnya berjalan sesuai keinginannya, tetapi mengeluh ketika kesusahan datang. Sementara orang yang mahir bersyukur tetap bisa mengucap syukur bahkan ketika hidup berjalan tidak seperti yang diharapkan. Kesadaran ini membuat saya menetapkan dalam hati saya akan menempa diri agar menjadi orang yang mahir bersyukur, bukan sekadar bisa bersyukur. Bahkan lebih dari itu, saya berharap bisa ”mewariskan” kecakapan mengucap syukur dalam segala situasi ini kepada anak-anak saya dan kepada setiap orang yang bisa saya sentuh hidupnya dengan berbagai cara, termasuk dengan cara menuliskan artikel sederhana ini.

Tentang kemahiran bersyukur ini saya pernah melakukan sebuah eksperimentasi selama sepuluh bulan dengan melibatkan 500 peserta program pelatihan dari 20-an angkatan/kelas yang saya fasilitasi. Dalam salah satu materi pelatihan, saya meminta semua peserta berlomba mebuat daftar ”25 hal yang saya syukuri dalam hidup”. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk setiap angkatan hanya 1-2 orang saja yang mampu menyelesaikan daftar syukur tersebut dalam waktu 4 menit atau kurang [rekor tercepat adalah 2,5 menit]. Lebih dari 95% peserta memerlukan waktu yang lebih lama. Karena itu secara hipotetis saya menganggap bahwa jumlah yang banyak itu termasuk kategori orang bisa bersyukur, sementara jumlah yang 5 persen itu bisa dikelompokkan sebagai orang yang mahir bersyukur.

Belajar mengucap syukur dalam segala situasi, itulah salah satu pelajaran penting yang saya pelajari di sekolah kehidupan Indonesia. Dan saya sungguh bersyukur bahwa untuk pelajaran yang sepenting itu, Tuhan memberi saya seorang guru terbaik yang pernah saya kenal: Ibu saya sendiri.